Karakteristik Gugusan Pulau Kecil (Archipelagic Islands) di Kabupaten Kepulauan SITARO


Pengantar.

Kawasan pulau-pulau kecil memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang tinggi dan dapat dijadikan sebagai modal dasar pelaksanaan pembangunan Indonesia di masa yang akan datang. Kawasan ini menyediakan sumberdaya alam yang produktif seperti terumbu karang, padang lamun (seagrass), hutan mangrove, perikanan dan kawasan konservasi. Pulau-pulau kecil juga memberikan jasa lingkungan yang besar karena keindahan alam yang dimilikinya yang dapat menggerakkan industri pariwisata bahari. Dilain pihak, pemanfaatan potensi pulau-pulau kecil masih belum optimal akibat perhatian dan kebijakan Pemerintah selama ini yang lebih berorientasi ke darat (land based oriented). Pengembangan kawasan pulau-pulau kecil merupakan suatu proses yang akan membawa suatu perubahan pada ekosistemnya. Perubahan-perubahan tersebut akan membawa pengaruh pada lingkungan. Semakin tinggi intensitas pengelolaan dan pembangunan yang dilaksanakan berarti semakin tinggi tingkat pemanfaatan sumberdaya, maka semakin tinggi pula perubahan-perubahan lingkungan yang akan terjadi di kawasan pulau- pulau kecil. Pulau-pulau kecil penting artinya karena fungsinya sebagai sabuk penghubung, sabuk pengaman, dan sabuk ekonomi. Pemberdayaan fungsinya dapat ditempuh melalui sektor wisata bahari, perikanan, pertambangan, atau kehutanan. Jumlah pulau hasil perhitungan DISHIDROS tercatat 17.508 buah, maka pemberdayaan dapat dikembangkan melalui berbagai sektor sesuai dengan potensi pulau-pulaunya. Pulau-pulau kecil memiliki keunikan ekologis dengan potensi sumberdaya alam antar pulau bervariasi. Ekologis pulau kecil relatif homogen dengan posisi terisolir dan ekosistem laut mendominasi karakteristik pulau ini. Keunikan ini menawarkan suatu potensi yang menarik karena secara natural berbeda dengan pulau besar, sehingga memberi peluang diversifikasi upaya pembangunan. Lingkup pengelolaan dilakukan secara parsial disebabkan antara lain oleh paradigma pengembangan pulau dengan memanfaatkan keunikan suatu pulau. Kasus ini berefek pada ketidakseimbangan ekosistem antar pulau karena tidak ada keterpaduan pengelolaan di antara pulau-pulau tersebut. Di sisi lain, dirasakan bahwa pengembangan pulau-pulau kecil masih terabaikan dibandingkan pulau besar. Hal ini disebabkan oleh berbagai kendala seperti infrastrukturnya relatif kurang lengkap dan lebih sulit dicapai. Permasalahan ini diawali oleh ketiadaan informasi tentang karakteristik fisik dan sosial di tingkat perencana baik regional maupun nasional, sehingga hal ini dirasakan sebagai penghambat upaya pembangunan (Asriningrum, 2004).
Pengembangan dan pengelolaan pulau-pulau kecil pada dasarnya terkait dengan masalah tata ruang antar pulau. Jika di pulau besar penetapan rencana umum tata ruang menggunakan unit Daerah Aliran Sungai (DAS), maka di pulau kecil perlu menggunakan unit tertentu misalnya gugusan (entitas) pulau. Dari jumlah pulau 17.508 buah dipisahkan pulau-pulau yang termasuk pulau kecil dan dikelompokkan dalam unit-unit yang saling mendukung sehingga tercipta suatu keterpaduan. Dengan permasalah itu, maka pengaturan tata ruang pulau-pulau kecil perlu mendapat perhatian serius, termasuk pengadaan data dasar berupa data sosial, ekonomi, kependudukan, dan juga data fisik lahan.
Dari berbagai fakta di atas tentu pengelolaan pulau-pulau kecil perlu di perhatikan dengan melihat tingkat kerentanan dan kepekaan dari pulau tersebut. Adapun definisi dari pulau kecil seperti yang di kutip oleh Bengen dan Retraubun (2006) yang di tuangkan UNCLOS (1982, Bab VIII Pasal 121 Ayat 1) adalah: ” Pulau adalah massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu berada/muncul di atas permukaan air pasang”. Selanjutnya, berdasarkan SK Menteri Kelautan dan Perikanan No 41 Tahun 2000 mendefinisikan lagi berdasarkan kondisi geografis dan perairan Indonesia , bahwa yang dimaksud dengan pulau kecil adalah “pulau yang mempunyai luas area kurang dari atau sama dengan 10.000 km2 , dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 200.000 orang” (DKP, 2001 dalam Bengen dan Retraubun, 2006). Batasan yang sama pula seperti yang didefinisikan oleh Hess, 1990 dalam Bengen dan Retraubun, 2006 yang membedakannya adalah komposisi jumlah penduduk yang mendiami pulau tersebut kurang dari atau sama dengan 500.000 orang. Keterkaitan ekolologis pulau kecil tidak semata di pandang dari satu sisi saja akan tetapi juga di lihat bahwa pulau kecil adalah merupakan suatu sistem yang saling mengkait antar sitem yang satu dengan sistem yang lain. Dari sisi Geomorfologi kepesisiran tidak terlepas dari hubungan yang sangat erat antara ekosistem perairan pulau-pulau kecil. Oleh Retraubun (2002) juga Bengen dan Retraubun (2006) bahwa pulau-pulau di dunia di kelompokan menjadi lima (5), yaitu pulau benua, pulau vulkanik, pulau daratan rendah, pulau karang timbul dan pulau atoll. Selanjutnya, oleh Bengen dan Retraubun, 2006 memberikan klasifikasi dari pulau-pulau yang ada kedalam dua kelompok yaitu: kelompok pulau dataran yang terdiri dari tiga kelompok yaitu pulau aluvium, pulau karang/koral dan pulau atol. Kelompok pulau berbukit terdiri dari lima kelompok yaitu: pulau vulkanik, pulau tektonik, pulau teras terangkat, pulau petabah dan pulau genesis campuran. Secara geomorfologi kelompok-kelompok pulau ini adalah merupakan pulau-pulau yang khas dan memiliki sifat kondisi alam yang spesifik.
Sebagai ilustrasi, proses-proses darat dan laut yag terjadi di pulau-pulau kecil memiliki mekanisme yang khas contohnya pulau aluvial terbentuk oleh adanya sistem aliran sebagai pembawa sedimen di daerah berbatasan pantai. Sedimen ini awalnya berasal dari darat dan oleh adanya proses abrasi dan akresi, material ini diendapkan lagi ke darat oleh gelombang laut. Bentuklahan ini sebagian besar berupa hutan lahan basah dengan tumbuhan mangrove. Fungsi unit lahan ini sebagai penahan abrasi dan intrusi air laut dan tempat perkembangbiakan berbagai fauna bernilai ekonomis. Mengingat fungsi lahan ini, penentuan sebagai kawasan lindung akan menjaga ekologi lahan ini. Bentuk lahan perbukitan sisa terbentuk pada perbukitan yang mengalami proses denudasi lanjut.
Contoh yang lain, pengaruh efek pemanasan global yang mau tidak mau secara langsung menghantam keberlangsungan ekosistem perairan di pulau-pulau kecil seperti adanya coral bleaching akibat pengaruh pemanasan global El Nino. Dampak naiknya suhu air 1 – 1,250 Celsius dengan selang kepercayaan di atas 90 persen. Kenaikan ini akan memusnahkan semua spesies karang yang kita miliki karena hewan ini memiliki toleransi yang sangat sempit terhadap suhu maupun perubahan kedalaman. Akibatnya terjadi wabah coral bleaching (pemutihan karang) di seantero wilayah penyebarannya. Di Palau, salah satu tetangga kita, akibat kenaikan suhu, coral bleaching terjadi sampai kedalaman 90 meter. Populasi beberapa spesies karang berkurang sebanyak 99 persen dengan kerugian ekonomi (economic loss) diperkirakan sebanyak 91 miliar dollar AS. Indonesia bahkan akan mengalami kerugian berlipat ganda jika luas penyebaran karang kita dibandingkan dengan Palau (Retraubun, 2007). Selain itu pula, adanya ancaman abrasi dimana hilangnya nilai-nilai ekologis lahan pantai, di kutip dari laporan Retraubun (2007) bahwa kerusakan ekologis di pulau kecil cukup mengkhawatirkan. Dari hasil survei penamaan pulau di 22 provinsi sejak tahun 2005, ditemukan 24 pulau yang telah hilang secara fisik. Mereka tersebar di delapan (8) provinsi, 10 kabupaten, dan 12 kecamatan. Di Aceh, misalnya, tiga (3) pulau hilang karena tsunami, yaitu: Pulau Gosong Sanjai, Pulau Karang Linon Kecil, dan Pulau Karang Linon Besar. Di Kepulauan Riau dan Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), semua pulau hilang karena penambangan pasir. Pulau-pulau di atas umumnya merupakan pulau yang datar (low-lying islands) yang memiliki ketinggian rata-rata 1 meter di atas permukaan laut dan selalu berasosiasi dengan ekosistem – ekosistem tropis. Interaksinya menghasilkan fungsi produksi dan jasa lingkungan lautnya. Output-nya, komoditas perikanan yang kita konsumsi serta tumbuhnya resor-resor di pulau. Maka, kehilangan pulau akan berdampak luas.

Pelingkupan Permasalahan, Kepekaan dan Kerentanan Pulau-pulau Kecil (Bengen dan Retraubun, 2006)

  • Secara ekologis pulau-pulau kecil amat rentan terhadap pemanasan global (global warming), angin topan dan gelombang tsunami
  • Pulau kecil memiliki banyak spesies-spesies endemik dan keanekaragaman hayati tipikal yang bernilai tinggi. Sehingga bila terjadi perubahan lingkungan maka akan sangat mengancam keberadaan spesies-spesies tadi
  • Pulau-pulau kecil memiliki daerah tangkapan air yang sangat terbatas sehingga ketersediaan air tawar merupakan faktor pembatas pembangunan
  • Pemanfaatan potensi sumberdaya laut dan alam yang belum optimal karena letak dan kondisi geografis yang jauh dan terisolir
  • Akibat letak yang jauh dan terisolir maka kebanyakan pulau –pulau kecil tersebut tidak berpenghuni atau lebih banyak di manfaatkan oleh penduduk pulau sekitar sebagai lahan pertanian dan perkebunan
  • Jaringan transportasi dan aksesibilitas merupakn salah satu permasalahan yang sangat besar dalam pengembangan pulau-pulau kecil
  • Lemahnya pengawasan dan pengamanan di pulau-pulau kecil, diantaranya adalah adanya kegiatan ilegal (pembuangan limbah, penyeludupan, penangkapan ikan karang, pencurian jenis biota laut penting, penambangan pasir laut) akibat letak pulau yang terpencil
  • Diperlukan investasi yang besar bagi pengembangan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pulau kecil sehingga tidak menjadi prioritas pembangunan
  • Terbatasnya dana bagi pengelolaan dan pengembangan pulau-pulau kecil
  • Belum adanya klasifikasi menyangkut keadaan biofisik, sosial ekonomi terhadap pulau-pulau kecil yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pengelolaan atas lokasi sumberdaya alam agar lebih efektif

Morfogenesis Gugusan Pulau Kecil (Archipelagic Islands) di Kabupaten SITARO

Provinsi Sulawesi Utara, memiliki 258 pulau kecil yang sudah secara resmi di daftarkan di badan dunia PBB dan telah diverifikasi secara detil. Sedangkan, kabupaten SITARO memiliki tiga (3) gugusan pulau yaitu : Gugusan Pulau Siau dan pulau-pulau sekitarnya yaitu: P. Siau Besar, P. Gunatin, P. Pahepa, P. Kapuliha, P. Masare, P.Mahoro, P. Laweang, gugusan pulau Sanggeluhan (terdiri dari: P. Bawondeke dan P. Sanggeluhang), P. Makalehi; Gugusan Pulau Tagulandang dan pulau-pulau sekitarnya terdiri dari: P. Taggulandang, P. Passige dan P. Ruang dan yang terakhir adalah Gugusan Pulau Biaro dan pulau-pulau sekitarnya P. Biaro, P. Kalukughi, P. Tandukuhang, P. Tumbonang Besar P. Seba Besar dan P. Salangka . Sebanyak 33 buah pulau dimana 10 pulau yang berpenghuni dan 22 pulau yang tidak berpunghuni dan Pulau Makalehi adalah pulau terluar di daerah ini lewat penetapan Peraturan Presiden No. 78 tentang pengelolaan pulau-pulau kecil terluar.
Keberadaan morfologi gugusan kepulauan SITARO adalah merupakan proses geologis yang panjang disertai dengan rentetan evolusi dari sistem perubahan lempeng samudera yang berada di laut Sulawesi. Keberadaan lempengan ini menyebabkan gugusan pulau Sitaro memberikan sifat endemik (bio-fisik) dari komposisi fisik pulau-pulau kecil tersebut. Seperti yang terlihat pada gambar 1 bahwa jejaring gugusan pulau-pulau Siau, Tagulandang dan Biaro adalah merupakan pulau-pulau vulkanik di awali dengan pulau Biaro yang adalah rangkaian terluar dari sisi selatan gugusan pulau Sitaro, kemudian pulau Tagulandang dengan adanya Gunung Ruang serta keberadaan pulau Siau sendiri yang memiliki Gunung Karangetang.
Sejalan dengan pemanasan global (global warming) yang telah memicu terjadinya kenaikan paras laut global (eustatik sea level rise), dimana menurut Asian Development Bank (2001), Indonesia diprediksikan akan mengalami pemansan suhu sebesar 0.4 – 3.00 C dan kenaikan muka laut sebesar 15 – 90 cm pada tahun 2010 (Gambar 2). Issu ini merebak dengan makin meningkatnya tekanan dari laut itu sendiri, maka diperlukan pengelolaan efektif pulau-pulau kecil yang arif dan selaras dengan potensi sumberdaya alam yang ada.
Beberapa cara untuk mengetahui naiknya paras laut adalah dengan suatu pengembangan model berbasis spasial yang dapat memprediksikan dampak kenaikan paras laut di pesisir pulau-pulau kecil di masa yang akan datang. Model yang dikembangkan adalah model prediksi pemunduran garis pantai (shoreline reatret model) sebagai dampak dari kenaikan muka laut berbasis SIG dalam beberapa skenario. Adapun persyaratan di dalam pengembangan model perubahan garis pantai oleh Hennecke et al (2004) mendasarkan kepada beberapa kriteria:
• Meskipun model ini telah memperhitungkan komponen sedimentasi termasuk juga dampak sedimentasi karena arus menyusur pantai, diterapkan pada pantai semi tertutup, model ini belum mempertimbangkan model ketidakpastian (uncertainty), menambahkan komponen edimentasi secara terpisah (tidak dalam satu persamaan) sehingga tidak dapat memperlihatkan dampak positif atau negatif dari naiknya muka air laut atau sedimentasi pada perubahan garis pantai.
• Menggunakan kenaikan muka air laut versi IPCC (2001) dan tidak memperhitungkan kenaikan muka air laut lokal dan regional, dan
• Kajian fisik masih bersifat statis.

Sehingga oleh Sutrisno (2006) membatasi peluang untuk memodifikasi model perbahan garis pantai di pulau-pulau kecil sesuai dengan kebutuhan lokal didasari oleh beberapa skenario di bawah ini:
• Menggambungkan komponen sedimentasi ke dalam satu persamaan (perhitungan laju akumulasi sedimen, volume endapan per tahun sedimen dan transport aliran litoral).
• Modifikasi model ini di kombinasikan dengan pengurangan komponen sedimen, sehingga dampak positif dan negatif dari kombinasi naiknya muka air laut dan sedimentasi terhadap wilayah pesisirnya dapat terlihat jelas.
• Model dikembangkan secara dinamis (dynamic system) dan memperhitungkan komponen ketidakpastian dari unsur-unsur paras laut (MSL) dan sedimentasi  10 tahun pengamatan pasang surut.
• Naiknya muka laut di hitung dengan menggunakan data pasang surut stasiun lokal.
Dengan demikian, secara keseluruhan dampak dari kenaikan muka air laut hubungannya denga kondisi morfologi pantai pulau-pulau kecil dapat di ketahui dan diprediksi dengan membuat skenario-skenario terbaik dengan meminimalisasikan sknario terburuk yang akan terjadi. Pada kenyataannya pembukaan lahan mangrove untuk pertambakan, penambangan karang serta gejala overfishing dan lain sebagainya, memiliki keterkaitan dengan meningkatnya paras air laut yang mengakibatkan kerugian secara ekonomis yang tidak terhingga.
Penutup.
Menata ruang pulau-pulau kecil membutuhkan peran dari masyarakat lokal dan dukungan dari berbagai pihak seperti pemerintah pusat dan daerah serta kalangan akademisi. Issu yang berangkat dari menaiknya massa permukaan laut yang akan mengakibatkan hilangnya gugusan pulau-pulau kecil ini perlu di kaji secara ilmiah. Diperhadapkan dengan situasi demikian tulisan ini mencoba menggambarkan adanya keterkaitan antara sifat morfogenesis pulau – pulau kecil hubungannya dengan naiknya paras laut global (eustatic sea level rise). Oleh karena itu, masih perlu adanya penelitian yang lebih komprehensif dan mendalam untuk mempelajari sifat-sifat massa air laut seperti island wakes, eddies, vortex current dan aliran lokal seperti littoral transport dan tidal current secara real time. Demikianpula dengan keberadaan pulau-pulau kecil perlu di kaji ”genetic building” dan ”physical character” sehingga dapat menjawab masalah-masalah kepesisiran.

DAFTAR PUSTAKA
Asriningrum, W. 2004. STUDI IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK PULAU KECIL MENGGUNAKAN DATA LANDSAT DENGAN PENDEKATAN GEOMORFOLOGI DAN PENUTUP LAHAN: Studi Kasus Kepulauan Pari dan Kepulauan Belakangsedih. Makalah pribadi.
Bengen, D.G dan Retraubun, A.W.S. 2006. Menguak Realitas dan Urgensi Pengelolaan Berbasis Eko-Sosio Sistem Pulau-Pulau Kecil. Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L). ISBN 979-98867-2-4.
Harvey, N.,M. Rice and L. Stephenson, 2004.Global Change Coastal ZoneManagement Synthesis Report. Asia-Pacific Network for Global Change Research, APN Secretariat, Chuo-ku, Kobe, 37 pp.
Retraubun, A.S.W. 2002. Pulau-pulau Kecil di Indonesia. Data dan Masalah Pengelolaannya. Makalah Lokakarya dalam rangka Penetapan Luas TerumbuKarang, Panjang Pantai, dan Jumlah Pulau di Indonesia Berdasarkan Data Penginderaan Jauh. oleh COREMAP. LIPI.
Retraubun, A.S.W. 2007. Pulau Kecil ditegah Pemanasan Global. Harian Kompas tanggal 2 Juni 2007
Sutrisno, D. 2005. DAMPAK KENAIKAN MUKA LAUT PADA PENGELOLAAN DELTA: Studi Kasus Penggunaan Lahan Tambak di Pulau Muara ulu Delta Mahakam (Disertasi, 2005)

Biodata Penulis.
Joyce Christian Kumaat, S.Pi,M.Sc. Dosen di Jurusan Geografi Universitas Negeri Manado dan sekarang tercatat sebagai mahasiswa program Doktor di School of Graduate Studies, Bogor Agricultural University dengan Mayor Sistem dan Pemodelan Sumberdaya Perikanan Tangkap (SPT). Tamat pendidikan Sekolah Menengah Atas Tahun 1990 di SMA Kr Tomohon. Gelar Sarjana Perikanan (S.Pi) dari Program Studi Ilmu Kelautan Tahun 1995 dengan konsentrasi penelitian morfologi pantai di Fakultas Perikanan, Universitas Sam Ratulangi. Gelar Master of Science dari Dipartimento Scienze del mare Tahun 2005 dengan fokus penelitian pemetaan geomorfologi terumbu karang di Facolta di Scienze, Universita Politecnica delle Marche Ancona, Italia (Kerjasana dengan Universitas Sam Ratulangi dan Universita degli studi di Genova). Sebagai konsultan perencana di bidang sumberdaya air khususnya perencanaan pengamanan pantai, sejak tahun 1996 – sekarang untuk kajian hidro-oseanografi dan pemodelan spasial Sistem Informasi Geografis (SIG) di wilayah pesisir. Keanggotaan Organisasi Profesi: Anggota HATHI (Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia) Cabang Sulawesi Utara, ASPISIA (Asosiasi Penyelam Ilmiah Seluruh Indonesia), FORPELA, CMAS/POSSI, SSI dan PADI.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.